https://gudangbacabuku.blogspot.com/2019/12/bagimu-negeri-menyediakan-api-chairil.html |
Buku ini mengungkap
kehidupan Chairil Anwar dengan lengkap, mulai dari kehidupan masa
kecilnya di Medan, kepindahannya ke Jakarta, inspirasinya dalam menulis hingga
peristiwa kematiannya. Chairil Anwar dilahirkan di Medan, Sumatera Utara pada
26 Juli 1922 . Ia merupakan anak satu-satunya dari pasangan Toeloes bin Manam
dan Siti Saleha, keduanya berasal dari kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera
Barat. Chairil Anwar mulai mengenyam pendidikan di Hollandsch-Inlandsche School
(HIS), sekolah dasar untuk orang-orang pribumi pada masa penjajahan Belanda. Ia
kemudian meneruskan pendidikannya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO),
sekolah menengah pertama Hindia Belanda, tetapi kuluar sebelum lulus.
Pada tahun 1942, setelah perceraian orang tuanya, Chairil bersama ibunya pindah
ke Jakarta dan mulai mengenal dunia sastra. Yang membuat Chairil Anwar bersinar
adalah kemampuannya melahirkan karya yang tidak sekadar memotret dan
menggelorakan jiwa perjuangan kemerdekaan RI, namun juga kemampuannya mengolah
bahasa Indonesia, yang pada saat itu belum semaju sekarang.
Pada masa ia hidup, bahasa Melayu dan Belanda masih lebih familier digunakan.
Kegilaan Chairil terhadap buku sastra dunia dan perjuangannya mencari kata,
diksi, bentuk dan isi terbaik dalam lirik-lirik puisinya membuat karyanya
menjadi unggul dan berbeda dari karya-karya Angkatan Pujangga Baru saat itu.
Mengenai puisi-puisi perjuangannya, ia tidak hanya merenung dan berimajinasi di
balik meja saja, melainkan terlibat langsung dalam pertempuran yang kemudian
dituangkannya ke dalam sajak. Hal ini dapat dilihat dari salah satu puisinya
yang berjudul “Krawang-Bekasi”, “Persetujuan dengan Bung Karno”, “Aku” dan
“Diponegoro”. Selain puisi perjuangan, ada juga puisi-puisi cinta yang
terinspirasi dari beberapa perempuan yang pernah singgah dihidupnya.
Chairil Anwar meninggal pada tanggal 28 April 1949, karena penyakit tifus,
infeksi dan usus pecah. Chairil dimakamkan di Pemakaman Umum Karet Bivak,
Jakarta Pusat. Chairil mati muda pada usia 27 tahun dan sejarah akan terus
mencatat, ia seorang pemberontak yang tak beranjak tua. Mati muda telah
mengekalkan imaji dirinya selaku pemberontak terhadap adat-istiadat, nilai, dan
kemapanan Pujangga Baru. Walau telah tiada, sampai hari ini Chairil adalah
sebuah inspirasi. Inspirasi tentang bagaimana seorang pengarang menciptakan
karakter bahasa yang mampu menembus dominasi bahasa pejabat, bahasa politikus,
bahasa pengacara dan bahasa preman sekaligus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar